Elegi Cinta dan Kisah Prabu
Labels:
Cerpen Cinta
Bahagianya aku setelah lelah bermain bersama sahabat karib dan gadis cantik pujaanku.
Kehangatan yang begitu mendalam masih saja tertanam di hatiku walau waktu telah lama berlalu. Aku masih ingat semua detil cerita ini dari awal hingga akhir. Karena cerita ini memang bukan cerita sembarangan yang biasanya hinggap di hari-hariku yang membosankan. Cerita ini adalah pengalaman luar biasa yang semakin mengukuhkan perasaanku kepada Sunny, gadis impianku. Jam menunjukkan pukul duabelas siang di hari yang berawan. Aku keluar dari kelas Fenomena. Gelombang dengan sangat lesu karena Pak Mertayasa berjanji akan memberikan kuis hari Kamis besok. Aku masih belum bisa mengerjakan soal-soalnya dan belum belajar apa-apa buat bekal nanti. Untungnya, kegelisahan itu belum menjadi derita yang tak berkesudahan bagiku.
Paling tidak hingga tujuh hari ke depan. Aku pun terus berlalu menjauhi ruang kuliah. Berusaha meninggalkan kenyataan bahwa diriku selalu dibicarakan dosen-dosen setiap Rapat Hari Jumat di jurusan. Bukan karena prestasi, melainkan karena kasus dan masalah akademik lainnya. Semuanya terasa sangat menyakitkan apabila teringat kembali di dalam benakku. Bahkan Dosen Wali yang seharusnya membimbingku kini berusaha menjaga jarak dari permasalahanku.
Langkah-langkahku diiringi pemandangan gedung-gedung kampus yang nampak jenuh.
Semuanya berwarna putih tetapi tidak bergairah. Padahal gedung itu selalu dicat ulang setiap
tahun. Mungkin karena cuaca yang sedang berawan atau karena pikiranku yang sedang kusut.
Kemungkinan-kemungkinan yang ada sepertinya tak mampu memberi kepastian jawaban atas
pertanyaanku sendiri.
"Win, jalan-jalan, yuk?!" Di gerbang kampus, Toki menegurku dengan nada spontan.
Membuatku terkejut karena ia menerjang badanku dari belakang dengan kedua tangannya seperti
pegulat yang tengah menelikung lawannya.
"Aduh... aku lagi pusing banget, Ki. Malas!"
"Yah, pusing dipiara... padahal di dekat SR ada pemandangan bagus."
"Pemandangan apa? Tak mungkin ada pemandangan yang lebih bagus dibandingkan hamparan
kasur empuk yang bisa meluruskan tulang belakangku."
"Tuh, lihat itu. Siapa yang lagi jalan sendirian di parkiran SR?"
Saat melihat Sunny dari kejauhan, aku spontan terbangkit dari kehampaan. Wow! Ini baru
namanya pemandangan!
"Hehehe... jadi tambah pusing atau bagaimana? Kalau memang niat, ajak saja jalan-jalan. Now
or never, Man!"
Toki benar. Kepalaku menjadi semakin berat. Terasa pusing karena harus mengambil sikap tegas
atas pemandangan bagus itu.
"Ya, sudah. Doakan ya, Ki. Kalau sukses, aku traktir satu minggu di Gelap Nyawang."
Kehangatan yang begitu mendalam masih saja tertanam di hatiku walau waktu telah lama berlalu. Aku masih ingat semua detil cerita ini dari awal hingga akhir. Karena cerita ini memang bukan cerita sembarangan yang biasanya hinggap di hari-hariku yang membosankan. Cerita ini adalah pengalaman luar biasa yang semakin mengukuhkan perasaanku kepada Sunny, gadis impianku. Jam menunjukkan pukul duabelas siang di hari yang berawan. Aku keluar dari kelas Fenomena. Gelombang dengan sangat lesu karena Pak Mertayasa berjanji akan memberikan kuis hari Kamis besok. Aku masih belum bisa mengerjakan soal-soalnya dan belum belajar apa-apa buat bekal nanti. Untungnya, kegelisahan itu belum menjadi derita yang tak berkesudahan bagiku.
Paling tidak hingga tujuh hari ke depan. Aku pun terus berlalu menjauhi ruang kuliah. Berusaha meninggalkan kenyataan bahwa diriku selalu dibicarakan dosen-dosen setiap Rapat Hari Jumat di jurusan. Bukan karena prestasi, melainkan karena kasus dan masalah akademik lainnya. Semuanya terasa sangat menyakitkan apabila teringat kembali di dalam benakku. Bahkan Dosen Wali yang seharusnya membimbingku kini berusaha menjaga jarak dari permasalahanku.
Langkah-langkahku diiringi pemandangan gedung-gedung kampus yang nampak jenuh.
Semuanya berwarna putih tetapi tidak bergairah. Padahal gedung itu selalu dicat ulang setiap
tahun. Mungkin karena cuaca yang sedang berawan atau karena pikiranku yang sedang kusut.
Kemungkinan-kemungkinan yang ada sepertinya tak mampu memberi kepastian jawaban atas
pertanyaanku sendiri.
"Win, jalan-jalan, yuk?!" Di gerbang kampus, Toki menegurku dengan nada spontan.
Membuatku terkejut karena ia menerjang badanku dari belakang dengan kedua tangannya seperti
pegulat yang tengah menelikung lawannya.
"Aduh... aku lagi pusing banget, Ki. Malas!"
"Yah, pusing dipiara... padahal di dekat SR ada pemandangan bagus."
"Pemandangan apa? Tak mungkin ada pemandangan yang lebih bagus dibandingkan hamparan
kasur empuk yang bisa meluruskan tulang belakangku."
"Tuh, lihat itu. Siapa yang lagi jalan sendirian di parkiran SR?"
Saat melihat Sunny dari kejauhan, aku spontan terbangkit dari kehampaan. Wow! Ini baru
namanya pemandangan!
"Hehehe... jadi tambah pusing atau bagaimana? Kalau memang niat, ajak saja jalan-jalan. Now
or never, Man!"
Toki benar. Kepalaku menjadi semakin berat. Terasa pusing karena harus mengambil sikap tegas
atas pemandangan bagus itu.
"Ya, sudah. Doakan ya, Ki. Kalau sukses, aku traktir satu minggu di Gelap Nyawang."
"Amin, Win." Toki antusias, bertepuk tangan.
Lalu, aku mendekati Sunny dengan perasaan baur. Kutegarkan
diriku dalam langkah satria. Ia belum menyadari kehadiranku yang
berjalan lambat dan meragu. Ia kelihatan lesu, dan melangkah
dengan kepala tertunduk. Aku sedikit ragu untuk menegurnya.
Tidak etis menegur seseorang yang mungkin sedang ingin sendiri
atau tengah berpikiran kalut.
Tetapi Tuhan tidak akan mengubah nasib makhluk ciptaan-Nya.
Tidak jika tidak diubah oleh dirinya sendiri. Kerja keras
merupakan usaha nyata yang wajib dilakukan oleh setiap individu.
Jika ingin jadi pacarnya, aku harus berusaha mendekatinya.
Mudah-mudahan usahaku ini ada hasilnya. Semoga!
***
"Halo, Sun."
Ia melirikku sekilas namun tidak menjawab.
"Apa kabar?" tegurku lagi.
Ia masih saja terus berjalan lambat tanpa respon apapun terhadap teguranku.
"Sun, jalan-jalan, yuk?!"
Kali ini ada sedikit respon dari kedua kakinya yang berhenti melangkah seketika. Diikuti
gelengan kepala, dan diakhiri pergerakan langkah yang kembali menjauhiku.
Ia menolak!
Wajar! Seorang gadis pasti akan berusaha menjaga jarak dari lawan jenisnya. Kita hidup di
Indonesia yang katanya sih, berbudaya. Sepertinya aku harus bersikap lebih tegas lagi untuk
meminta penjelasan dan alasan darinya. Sebagai penganut agama yang patriarkis, sudah
seharusnya seorang pria memberi ketegasan pada kaum Hawa. Aku terus menerus berusaha
menghalangi langkahnya dengan tujuan agar ia tidak lagi menjauhiku. Dan akhirnya berhasil!
Ia berhenti melangkah. Wajahnya terangkat tegak dan matanya beralih menatapku. "Sori, Win...
aku tidak bisa. Banyak pekerjaan...."
"Ayolah! Sudah capek kuliah kok, malah pingin mengerjakan PR? Tidak takut gegar otak, Sun?"
Aku memotong kata-katanya yang belum tuntas
Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Mungkin karena merasa tersinggung. Aku jadi takut.
Jangan jadi benci, jangan jadi benci! Aku berdoa seperti itu dalam hati.
Ia berjalan ke arahku dengan perlahan tanpa ekspresi dan melemparkan tasnya kepadaku.
Dengan spontan, respon tanganku berusaha meraih tas tersebut. Sunny menatap mataku tajam
seakan-akan ingin menantangku berduel. Ia berdiri tegak dengan lengan yang terlipat angkuh.
"Oke, kamu mau ajak aku ke mana?"
Mau ke mana, ya?! Si Toki belum bilang apa-apa tentang perjalanannya. Aku mencoba berpikir
keras. Pandanganku menatap langit di angkasa, berusaha menjaring sebuah kalimat tujuan
dengan mengonsentrasikan pikiranku. Ke mana, ya?! Sementara itu Sunny terlihat semakin tidak
sabar. Mati aku!
"Ke tempat rahasia. Dimana kendaraan belum ditemukan dan prasasti Sunda menerangkan
keadaan negerinya." Tiba-tiba saja Toki mengagetkanku dengan jawaban yang datang
menghampiri kami secara mendadak seperti hantu. Menerangkan tentang perjalanan ke tempat
rahasianya.
Aku menghela napas panjang. Beruntung bisa mendapatkan jawaban itu. Akhirnya kita tahu ke
mana kita akan pergi. Ke tempat dimana raja-raja Sunda masih berjaya. Ya, ke tempat purba!
Lalu, aku mendekati Sunny dengan perasaan baur. Kutegarkan
diriku dalam langkah satria. Ia belum menyadari kehadiranku yang
berjalan lambat dan meragu. Ia kelihatan lesu, dan melangkah
dengan kepala tertunduk. Aku sedikit ragu untuk menegurnya.
Tidak etis menegur seseorang yang mungkin sedang ingin sendiri
atau tengah berpikiran kalut.
Tetapi Tuhan tidak akan mengubah nasib makhluk ciptaan-Nya.
Tidak jika tidak diubah oleh dirinya sendiri. Kerja keras
merupakan usaha nyata yang wajib dilakukan oleh setiap individu.
Jika ingin jadi pacarnya, aku harus berusaha mendekatinya.
Mudah-mudahan usahaku ini ada hasilnya. Semoga!
***
"Halo, Sun."
Ia melirikku sekilas namun tidak menjawab.
"Apa kabar?" tegurku lagi.
Ia masih saja terus berjalan lambat tanpa respon apapun terhadap teguranku.
"Sun, jalan-jalan, yuk?!"
Kali ini ada sedikit respon dari kedua kakinya yang berhenti melangkah seketika. Diikuti
gelengan kepala, dan diakhiri pergerakan langkah yang kembali menjauhiku.
Ia menolak!
Wajar! Seorang gadis pasti akan berusaha menjaga jarak dari lawan jenisnya. Kita hidup di
Indonesia yang katanya sih, berbudaya. Sepertinya aku harus bersikap lebih tegas lagi untuk
meminta penjelasan dan alasan darinya. Sebagai penganut agama yang patriarkis, sudah
seharusnya seorang pria memberi ketegasan pada kaum Hawa. Aku terus menerus berusaha
menghalangi langkahnya dengan tujuan agar ia tidak lagi menjauhiku. Dan akhirnya berhasil!
Ia berhenti melangkah. Wajahnya terangkat tegak dan matanya beralih menatapku. "Sori, Win...
aku tidak bisa. Banyak pekerjaan...."
"Ayolah! Sudah capek kuliah kok, malah pingin mengerjakan PR? Tidak takut gegar otak, Sun?"
Aku memotong kata-katanya yang belum tuntas
Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Mungkin karena merasa tersinggung. Aku jadi takut.
Jangan jadi benci, jangan jadi benci! Aku berdoa seperti itu dalam hati.
Ia berjalan ke arahku dengan perlahan tanpa ekspresi dan melemparkan tasnya kepadaku.
Dengan spontan, respon tanganku berusaha meraih tas tersebut. Sunny menatap mataku tajam
seakan-akan ingin menantangku berduel. Ia berdiri tegak dengan lengan yang terlipat angkuh.
"Oke, kamu mau ajak aku ke mana?"
Mau ke mana, ya?! Si Toki belum bilang apa-apa tentang perjalanannya. Aku mencoba berpikir
keras. Pandanganku menatap langit di angkasa, berusaha menjaring sebuah kalimat tujuan
dengan mengonsentrasikan pikiranku. Ke mana, ya?! Sementara itu Sunny terlihat semakin tidak
sabar. Mati aku!
"Ke tempat rahasia. Dimana kendaraan belum ditemukan dan prasasti Sunda menerangkan
keadaan negerinya." Tiba-tiba saja Toki mengagetkanku dengan jawaban yang datang
menghampiri kami secara mendadak seperti hantu. Menerangkan tentang perjalanan ke tempat
rahasianya.
Aku menghela napas panjang. Beruntung bisa mendapatkan jawaban itu. Akhirnya kita tahu ke
mana kita akan pergi. Ke tempat dimana raja-raja Sunda masih berjaya. Ya, ke tempat purba!
Ke tempat raja-raja? Dimana kendaraan dan teknologi mutakhir belum ada?
Aku dan Sunny saling berpandangan. Zaman raja-raja? Hei, ini Bandung masa kini! Apakah
memang sudah ada mesin waktu?! Aku belum pernah lagi berkunjung ke Laboratorium Fisika
semenjak lulus TPB, kira-kira setahun yang lalu.
"Serius, kamu?! Kayaknya keren, tuh!" Mendengar ocehan Toki, Sunny langsung tertarik. Ia jadi
lebih bersemangat dari sebelumnya. Senyuman yang muncul di wajahnya bisa menggambarkan
gairah pada tubuhnya. Sementara aku masih saja bingung. Ke mana arah perjalanan kita? Di
mana profesor hebat itu menyimpan reaktornya?
"Tenang saja, Win. Yang penting kalian berdua ikut dulu."
Walau ragu, kami terus berjalan kaki mengikuti langkah Toki ke pelosok Kota Bandung. Medan
yang kami tempuh semakin lama semakin berbukit-bukit. Dengan seksama, aku mengamati
pemandangan di sekelilingku. Secara perlahan, deretan rumah yang padat beralih menjadi
perkampungan Sunda yang lapang. Keadaan itu berubah-ubah sedemikian rupa secara perlahan
sehingga akhirnya hanya beberapa gubuk dilatari hijaunya tetumbuhan saja yang terlihat di sana-
sini. Berhektar-hektar kebun hasil olah kedua tangan para petani tradisional terbentang luas di
kejauhan. Pemandangan itu terasa nyaman di pikiranku. Aku melirik ke arah Sunny, dan
mendapatkan kekaguman yang sama. Ia pasti belum pernah merasakan keindahan alam yang asri
seperti ini sebelumnya.
***
Diam-diam aku terus memperhatikan pesona Sunny yang sangat menawan. Saat ekspedisi ini
mulai terasa melelahkan, kehadirannya terus memaksa kakiku untuk tetap berjalan di dekatnya.
Ya, Tuhan! Tak sedetik pun aku melihat ada cela di tubuhnya. Sungguh Mahabesar Gusti Tuhan
yang mampu menciptakan kecantikan tiada batas dari bidadari-bidadari-Nya. Sampai akhirnya,
Toki berkata bahwa kita telah sampai di tempat tujuan.
Saat kakiku berhenti melangkah, barulah aku merasa nyeri dan lelah. Sendi-sendiku terasa ngilu
telah melewati kapasitas kerja normalnya. Aku belum sempat mengambil posisi duduk
berselonjor atau berbaring ketika Toki kembali memanggil kami berdua untuk ikut dengannya. Ia
memperlihatkan pemandangan yang aneh di balik rimbun tanaman liar yang telah menjalar
setinggi pohon kelapa.
Akhirnya, ketika tabir wahana semakin jelas, aku melihat bukit yang berbentuk parabola
sempurna dan tampak seperti wajan terbalik. Tanahnya terlihat gersang, hanya beberapa jenis
rumput tertentu saja yang mampu tumbuh. Ditemani pepohonan tua dengan akar yang sangat
panjang menjulur ke mata air yang terlihat jernih dan menyegarkan.
Di salah satu perbukitan terdapat sebuah kompleks gua. Dan di puncak salah satu bukit terdapat
sebuah arca batu. Di sebelah baratnya terdapat batu bersusun tiga yang di atasnya terlihat sungai
bawah tanah, mengalir menuju kompleks gua, membasahi lantai gua dan membentuk sebuah
kolam dengan diameter yang besar. Dinding di beberapa sudut kolam berwarna seperti pelangi.
Mungkin hal itu terjadi karena pembiasan dan penguraian berkas-berkas sinar matahari yang
masuk ke dalamnya.
Kami semua terpukau, dan menyembulkan senyuman terpesona. Nuansa mahaindah tidak dapat
kami gambarkan saat itu juga. Rasanya bahagia melihat pemandangan yang sangat indah yang
menghampar di hadapan kami. Dan spontan tanpa teraba, kami menerjang hamparan bukit yang
teduh. Kami langsung berlari dan mengguling-gulingkan badan ke bantaran padang rumput nan
hijau. Kami semua berbahagia. Alangkah damainya berada di dalam nuansa teduh dan sejuk
begini.
Toki meraih sebuah akar besar dan bergantungan seperti layaknya hewan primata. Sementara Sunny tertawa malu ketika melihat Toki meniru gerakan orangutan. Aku berada di sampingnya
saat itu. Melihatnya bahagia, simpatiku membuncah. Gadis itu memang lentukan langit yang
mahasempurna. Aku jatuh hati padanya melebihi segala. Dan menyimpan satu harapan bahwa ia
akan menyambut cintaku suatu saat.
Giliran Sunny mengambil akar besar dari pohon yang lain. Ia melilitkan akar besar itu di
pinggangnya seperti sebuah tali. Lalu mengayunkannya dengan dorongan yang sangat kuat. Ia
mengikuti liuk gerakan, dan berayun sesuka hati. Kadang-kadang, posisinya terbalik dengan
kepala berada di bawah dan rambutnya yang hampir menyentuh tanah. Dengan wajah yang
tersenyum puas, ia sesekali memandangku. Sesekali melihat pemandangan indah dari balik
ketinggian saat ayunan meninggi. Sampai akhirnya ayunan itu seperti lelah dan berhenti
bergoyang.
Aku mengikuti aksi mereka berdua di akar pohon yang lain. Kami semua tenggelam dalam riak
riang. Aneh. Kami tak merasakan beban hidup yang senantiasa membebat dalam kehidupan
kami. Di sini, kami merasa bebas, bahagia, dan tak dirundung masalah pelik duniawi. Raga kami
serasa begitu ringan. Tak ada prasangka dan gelisah terhadap hari esok. Tak ada lagi
kejomplangan yang menjadi momok kami antara si Miskin dan si Kaya. Si Miskin yang belum
makan, dan si Kaya yang berhamburan sandang-pangan. Tak ada pengangguran. Tak ada
kekerasan. Semuanya terasa damai seperti di surga.
Setelah puas bermain, Toki mengajak kami ke puncak kompleks gua. Di atas sana terdapat
sebongkah batu besar yang telah kami lihat sebelumnya dari kejauhan. Batu itu berbentuk tugu
bersegi-segi dengan sebuah prasasti yang dipahat secara teratur. Ukurannya setinggi manusia
dewasa yang melebar pada bagian dasar dan mengecil di bagian puncak. Segenap keingintahuan
meruap, dan kami mencoba untuk menelaah arca yang berbentuk menhir dan tertulisi, sepertinya,
dengan huruf Sunda kuno. Sunny, yang berdarah Jawa-Sunda, mengamati satu persatu huruf
yang terukir di permukaannya. Ia mengikuti jenjang pendidikannya semenjak SD di Bogor.
Berarti huruf kuno tersebut pernah menjadi makanan wajib baginya sekali seminggu.
"Semoga selamat bagi ia yang percaya, undang-undang dewata yang mengawali permulaan
segala sumpah!" Kalimat pembuka itu begitu religius, dilafalkan oleh Sunny dengan pencerapan
makna yang dalam. Gadis manis itu merendahkan posisi badannya untuk kembali mencerna
kalimat yang baru "Seyogyanya alam... berguna untuk keberhasilan, kesentosaan, kesehatan,
kebebasan dari bencana, dan kelimpahan segalanya bagi semua negeri mereka. Tetapi... orang-
orang merasa bangga dan tersanjung sehingga semua perbuatannya jahat, dan tidak berbakti serta
setia pada dewa. Luhur nilai para prabu, dihilangkan nafsu dan kemenangan perang. Orang-
orang saling mengganggu dan merusak, membunuh agar mendapat harta serta pesta-pesta."
Sunny mengeja detil, agak terputus. Ada beberapa baris yang ia lewati. Mungkin karena
pahatannya telah lamur akibat proses erosi alam. Tiga baris berikutnya, Sunny kembali
melanjutkan bacaannya.
"Sementara dewa... yang membuat hidup, akan membuat pelaku perbuatan tersebut mati kena
kutuk. Sehingga bumi rusak dan semua negeri mereka kembali jadi percaya. Dibuat pada tahun
Saka 608. Hari pertama, paruh terang, bulan Waisaka." Sunny menyudahi ejaannya, dan
memberi penjelasan tentang prasasti. "Pahatan ini diucapkan oleh para pemuda dan pemudi dari
desa sekitarnya."
Sunny berhasil membaca sembilan dari duabelas baris kalimat yang ada. Walaupun tidak
semuanya bisa dipahami dengan baik tetapi tujuan ditulisnya prasasti ini cukup jelas. Tulisan
yang khas kuna itu sepertinya adalah prasasti sebelum Kerajaan Pajajaran. Mungkin, di tempat
ini, kaum terpelajar saat itu sering berdiskusi tentang keadaan alam yang setiap harinya mengalami kehancuran akibat kebiadaban manusia. Rakyat meninggalkan ajaran mulia
agamanya dan berusaha mencari materi sebanyak-banyaknya. Sementara raja-rajanya kian hari
kian menambah selir serta menghambur-hamburkan uang pajak untuk pesta dan peperangan.
Akhirnya kekacauan datang silih berganti. Mereka telah menghalalkan nafsu keinginan
ketimbang nurani.
Aku terduduk setelah sekian lama menelaah arti kata-kata itu dan menatap kosong arca yang tak
bernyawa. Toki masih berdiri tanpa ekspresi. Sementara Sunny merebahkan tubuhnya ke tanah
sembari melihat angkasa dan tampak berpikir. Saat itu aku merasakan kehadiran para arwah yang
ikut bersila dalam permenungan. Mereka semakin ramai berdatangan dan berkumpul untuk
bertobat. Karena ilmu mereka tak sanggup melawan arus zaman yang lebih menggoda untuk
dinikmati.
"Bijak benar orang zaman dahulu."
Toki memecah konsentrasi seperti ingin mengajak kami berdiskusi. Tetapi tak ada sepatah kata
pun dibalas oleh yang lain. Sunny hanya tersenyum, sementara aku mengalihkan pandanganku
ke padang rerumput. Begitu lama kami dalam permenungan sampai akhirnya waktu berlalu, dan
matahari mengubah sudutnya ke bujur horison. Siang berganti dalam petang jingga sore.
Saatnya kami berpisah, dengan hati bergemuruh bahagia. Sebuah keajaiban rasa yang tak dapat
kami pahami dan ungkapkan dengan kata-kata. Raga kami masih seringan kapas, dan tak ada
bebat beban yang membelenggu. Kami menikmati nuansa damai dengan khidmat. Setelah itu,
aku pun berpamitan pada 'sang ahli purbakala', Sunny.
"Sun! Besok-besok kita main-main lagi, ya?"
Sunny tersenyum ke arahku sebelum kembali berjalan ke arah yang berlawanan. Bagiku, saat itu
waktu berlalu begitu cepat, dan dimensi enggan melambat. Agar aku dan Sunny dapat berlama-
lama di dalam kedamaian itu. Semuanya harus berakhir. Anugerah indah dalam wujud
perempuan bernama Sunny itu harus menirus lantas menghilang dari hadapanku. Seperti
lambaian sayap kupu-kupu yang menjauh, terbang lalu menghilang di balik angkasa.
***
"Win! Mau makan tidak?!"
"Lho, kok...?! Toki? Mana Sunny?"
"Sunny? Sunny kepalamu!"
Astaga! Aku bermimpi!
ASTAGA! AKU BERMIMPI!
Sebenarnya hari ini aku punya jadwal untuk bertemu dengan Sunny, seorang mahasiswi yang
aktif di berbagai kegiatan kampus, untuk membicarakan masalah kegiatan organisasi. Sekarang
sudah pukul tujuh malam dan matahari telah hilang dari pandangan semua orang. Seharusnya
kami bertemu dua jam yang lalu di pojok kampus, di markas organisasi itu.
Sesaat setelah kesadaranku mulai pulih, aku langsung beranjak menuju tempat yang telah
disetujui. Aku berlari tanpa mempedulikan efek tubuhku yang belum siap dengan ancang-ancang
ini. Tetapi aku tidak peduli. Meskipun pada akhirnya semua persendianku ngilu karenanya.
Entah kenapa kakiku bisa melangkah begitu cepat meninggalkan Toki yang masih bingung
melihat tingkahku yang tergesa-gesa.
Namun semuanya sudah terlambat. Tempat itu sudah begitu sepi dan gelap sementara semua
orang sudah tak tampak lagi dalam rutinitas dan kegiatan. Sumpah! Aku begitu geram karena
sikapku sendiri yang telah melalaikan janji. Setengah jam telah berlalu dan aku kembali lagi ke
tempat Toki di pedalaman Cisitu dengan tubuh yang lesu. Melihat keadaanku, Toki mencoba
untuk menghiburku dengan menawarkan sedikit saran.
Aku dan Sunny saling berpandangan. Zaman raja-raja? Hei, ini Bandung masa kini! Apakah
memang sudah ada mesin waktu?! Aku belum pernah lagi berkunjung ke Laboratorium Fisika
semenjak lulus TPB, kira-kira setahun yang lalu.
"Serius, kamu?! Kayaknya keren, tuh!" Mendengar ocehan Toki, Sunny langsung tertarik. Ia jadi
lebih bersemangat dari sebelumnya. Senyuman yang muncul di wajahnya bisa menggambarkan
gairah pada tubuhnya. Sementara aku masih saja bingung. Ke mana arah perjalanan kita? Di
mana profesor hebat itu menyimpan reaktornya?
"Tenang saja, Win. Yang penting kalian berdua ikut dulu."
Walau ragu, kami terus berjalan kaki mengikuti langkah Toki ke pelosok Kota Bandung. Medan
yang kami tempuh semakin lama semakin berbukit-bukit. Dengan seksama, aku mengamati
pemandangan di sekelilingku. Secara perlahan, deretan rumah yang padat beralih menjadi
perkampungan Sunda yang lapang. Keadaan itu berubah-ubah sedemikian rupa secara perlahan
sehingga akhirnya hanya beberapa gubuk dilatari hijaunya tetumbuhan saja yang terlihat di sana-
sini. Berhektar-hektar kebun hasil olah kedua tangan para petani tradisional terbentang luas di
kejauhan. Pemandangan itu terasa nyaman di pikiranku. Aku melirik ke arah Sunny, dan
mendapatkan kekaguman yang sama. Ia pasti belum pernah merasakan keindahan alam yang asri
seperti ini sebelumnya.
***
Diam-diam aku terus memperhatikan pesona Sunny yang sangat menawan. Saat ekspedisi ini
mulai terasa melelahkan, kehadirannya terus memaksa kakiku untuk tetap berjalan di dekatnya.
Ya, Tuhan! Tak sedetik pun aku melihat ada cela di tubuhnya. Sungguh Mahabesar Gusti Tuhan
yang mampu menciptakan kecantikan tiada batas dari bidadari-bidadari-Nya. Sampai akhirnya,
Toki berkata bahwa kita telah sampai di tempat tujuan.
Saat kakiku berhenti melangkah, barulah aku merasa nyeri dan lelah. Sendi-sendiku terasa ngilu
telah melewati kapasitas kerja normalnya. Aku belum sempat mengambil posisi duduk
berselonjor atau berbaring ketika Toki kembali memanggil kami berdua untuk ikut dengannya. Ia
memperlihatkan pemandangan yang aneh di balik rimbun tanaman liar yang telah menjalar
setinggi pohon kelapa.
Akhirnya, ketika tabir wahana semakin jelas, aku melihat bukit yang berbentuk parabola
sempurna dan tampak seperti wajan terbalik. Tanahnya terlihat gersang, hanya beberapa jenis
rumput tertentu saja yang mampu tumbuh. Ditemani pepohonan tua dengan akar yang sangat
panjang menjulur ke mata air yang terlihat jernih dan menyegarkan.
Di salah satu perbukitan terdapat sebuah kompleks gua. Dan di puncak salah satu bukit terdapat
sebuah arca batu. Di sebelah baratnya terdapat batu bersusun tiga yang di atasnya terlihat sungai
bawah tanah, mengalir menuju kompleks gua, membasahi lantai gua dan membentuk sebuah
kolam dengan diameter yang besar. Dinding di beberapa sudut kolam berwarna seperti pelangi.
Mungkin hal itu terjadi karena pembiasan dan penguraian berkas-berkas sinar matahari yang
masuk ke dalamnya.
Kami semua terpukau, dan menyembulkan senyuman terpesona. Nuansa mahaindah tidak dapat
kami gambarkan saat itu juga. Rasanya bahagia melihat pemandangan yang sangat indah yang
menghampar di hadapan kami. Dan spontan tanpa teraba, kami menerjang hamparan bukit yang
teduh. Kami langsung berlari dan mengguling-gulingkan badan ke bantaran padang rumput nan
hijau. Kami semua berbahagia. Alangkah damainya berada di dalam nuansa teduh dan sejuk
begini.
Toki meraih sebuah akar besar dan bergantungan seperti layaknya hewan primata. Sementara Sunny tertawa malu ketika melihat Toki meniru gerakan orangutan. Aku berada di sampingnya
saat itu. Melihatnya bahagia, simpatiku membuncah. Gadis itu memang lentukan langit yang
mahasempurna. Aku jatuh hati padanya melebihi segala. Dan menyimpan satu harapan bahwa ia
akan menyambut cintaku suatu saat.
Giliran Sunny mengambil akar besar dari pohon yang lain. Ia melilitkan akar besar itu di
pinggangnya seperti sebuah tali. Lalu mengayunkannya dengan dorongan yang sangat kuat. Ia
mengikuti liuk gerakan, dan berayun sesuka hati. Kadang-kadang, posisinya terbalik dengan
kepala berada di bawah dan rambutnya yang hampir menyentuh tanah. Dengan wajah yang
tersenyum puas, ia sesekali memandangku. Sesekali melihat pemandangan indah dari balik
ketinggian saat ayunan meninggi. Sampai akhirnya ayunan itu seperti lelah dan berhenti
bergoyang.
Aku mengikuti aksi mereka berdua di akar pohon yang lain. Kami semua tenggelam dalam riak
riang. Aneh. Kami tak merasakan beban hidup yang senantiasa membebat dalam kehidupan
kami. Di sini, kami merasa bebas, bahagia, dan tak dirundung masalah pelik duniawi. Raga kami
serasa begitu ringan. Tak ada prasangka dan gelisah terhadap hari esok. Tak ada lagi
kejomplangan yang menjadi momok kami antara si Miskin dan si Kaya. Si Miskin yang belum
makan, dan si Kaya yang berhamburan sandang-pangan. Tak ada pengangguran. Tak ada
kekerasan. Semuanya terasa damai seperti di surga.
Setelah puas bermain, Toki mengajak kami ke puncak kompleks gua. Di atas sana terdapat
sebongkah batu besar yang telah kami lihat sebelumnya dari kejauhan. Batu itu berbentuk tugu
bersegi-segi dengan sebuah prasasti yang dipahat secara teratur. Ukurannya setinggi manusia
dewasa yang melebar pada bagian dasar dan mengecil di bagian puncak. Segenap keingintahuan
meruap, dan kami mencoba untuk menelaah arca yang berbentuk menhir dan tertulisi, sepertinya,
dengan huruf Sunda kuno. Sunny, yang berdarah Jawa-Sunda, mengamati satu persatu huruf
yang terukir di permukaannya. Ia mengikuti jenjang pendidikannya semenjak SD di Bogor.
Berarti huruf kuno tersebut pernah menjadi makanan wajib baginya sekali seminggu.
"Semoga selamat bagi ia yang percaya, undang-undang dewata yang mengawali permulaan
segala sumpah!" Kalimat pembuka itu begitu religius, dilafalkan oleh Sunny dengan pencerapan
makna yang dalam. Gadis manis itu merendahkan posisi badannya untuk kembali mencerna
kalimat yang baru "Seyogyanya alam... berguna untuk keberhasilan, kesentosaan, kesehatan,
kebebasan dari bencana, dan kelimpahan segalanya bagi semua negeri mereka. Tetapi... orang-
orang merasa bangga dan tersanjung sehingga semua perbuatannya jahat, dan tidak berbakti serta
setia pada dewa. Luhur nilai para prabu, dihilangkan nafsu dan kemenangan perang. Orang-
orang saling mengganggu dan merusak, membunuh agar mendapat harta serta pesta-pesta."
Sunny mengeja detil, agak terputus. Ada beberapa baris yang ia lewati. Mungkin karena
pahatannya telah lamur akibat proses erosi alam. Tiga baris berikutnya, Sunny kembali
melanjutkan bacaannya.
"Sementara dewa... yang membuat hidup, akan membuat pelaku perbuatan tersebut mati kena
kutuk. Sehingga bumi rusak dan semua negeri mereka kembali jadi percaya. Dibuat pada tahun
Saka 608. Hari pertama, paruh terang, bulan Waisaka." Sunny menyudahi ejaannya, dan
memberi penjelasan tentang prasasti. "Pahatan ini diucapkan oleh para pemuda dan pemudi dari
desa sekitarnya."
Sunny berhasil membaca sembilan dari duabelas baris kalimat yang ada. Walaupun tidak
semuanya bisa dipahami dengan baik tetapi tujuan ditulisnya prasasti ini cukup jelas. Tulisan
yang khas kuna itu sepertinya adalah prasasti sebelum Kerajaan Pajajaran. Mungkin, di tempat
ini, kaum terpelajar saat itu sering berdiskusi tentang keadaan alam yang setiap harinya mengalami kehancuran akibat kebiadaban manusia. Rakyat meninggalkan ajaran mulia
agamanya dan berusaha mencari materi sebanyak-banyaknya. Sementara raja-rajanya kian hari
kian menambah selir serta menghambur-hamburkan uang pajak untuk pesta dan peperangan.
Akhirnya kekacauan datang silih berganti. Mereka telah menghalalkan nafsu keinginan
ketimbang nurani.
Aku terduduk setelah sekian lama menelaah arti kata-kata itu dan menatap kosong arca yang tak
bernyawa. Toki masih berdiri tanpa ekspresi. Sementara Sunny merebahkan tubuhnya ke tanah
sembari melihat angkasa dan tampak berpikir. Saat itu aku merasakan kehadiran para arwah yang
ikut bersila dalam permenungan. Mereka semakin ramai berdatangan dan berkumpul untuk
bertobat. Karena ilmu mereka tak sanggup melawan arus zaman yang lebih menggoda untuk
dinikmati.
"Bijak benar orang zaman dahulu."
Toki memecah konsentrasi seperti ingin mengajak kami berdiskusi. Tetapi tak ada sepatah kata
pun dibalas oleh yang lain. Sunny hanya tersenyum, sementara aku mengalihkan pandanganku
ke padang rerumput. Begitu lama kami dalam permenungan sampai akhirnya waktu berlalu, dan
matahari mengubah sudutnya ke bujur horison. Siang berganti dalam petang jingga sore.
Saatnya kami berpisah, dengan hati bergemuruh bahagia. Sebuah keajaiban rasa yang tak dapat
kami pahami dan ungkapkan dengan kata-kata. Raga kami masih seringan kapas, dan tak ada
bebat beban yang membelenggu. Kami menikmati nuansa damai dengan khidmat. Setelah itu,
aku pun berpamitan pada 'sang ahli purbakala', Sunny.
"Sun! Besok-besok kita main-main lagi, ya?"
Sunny tersenyum ke arahku sebelum kembali berjalan ke arah yang berlawanan. Bagiku, saat itu
waktu berlalu begitu cepat, dan dimensi enggan melambat. Agar aku dan Sunny dapat berlama-
lama di dalam kedamaian itu. Semuanya harus berakhir. Anugerah indah dalam wujud
perempuan bernama Sunny itu harus menirus lantas menghilang dari hadapanku. Seperti
lambaian sayap kupu-kupu yang menjauh, terbang lalu menghilang di balik angkasa.
***
"Win! Mau makan tidak?!"
"Lho, kok...?! Toki? Mana Sunny?"
"Sunny? Sunny kepalamu!"
Astaga! Aku bermimpi!
ASTAGA! AKU BERMIMPI!
Sebenarnya hari ini aku punya jadwal untuk bertemu dengan Sunny, seorang mahasiswi yang
aktif di berbagai kegiatan kampus, untuk membicarakan masalah kegiatan organisasi. Sekarang
sudah pukul tujuh malam dan matahari telah hilang dari pandangan semua orang. Seharusnya
kami bertemu dua jam yang lalu di pojok kampus, di markas organisasi itu.
Sesaat setelah kesadaranku mulai pulih, aku langsung beranjak menuju tempat yang telah
disetujui. Aku berlari tanpa mempedulikan efek tubuhku yang belum siap dengan ancang-ancang
ini. Tetapi aku tidak peduli. Meskipun pada akhirnya semua persendianku ngilu karenanya.
Entah kenapa kakiku bisa melangkah begitu cepat meninggalkan Toki yang masih bingung
melihat tingkahku yang tergesa-gesa.
Namun semuanya sudah terlambat. Tempat itu sudah begitu sepi dan gelap sementara semua
orang sudah tak tampak lagi dalam rutinitas dan kegiatan. Sumpah! Aku begitu geram karena
sikapku sendiri yang telah melalaikan janji. Setengah jam telah berlalu dan aku kembali lagi ke
tempat Toki di pedalaman Cisitu dengan tubuh yang lesu. Melihat keadaanku, Toki mencoba
untuk menghiburku dengan menawarkan sedikit saran.
"Makan dulu, Win! Biar segar."
Aku hanya terdiam, dan memandang kosong tanpa ekspresi Toki yang berdiri di bingkai pintu
kamarnya. Kali ini Toki hanya bisa menatapku dengan iba tanpa mampu berkata apa-apa. Aku
masih terus berharap agar semua yang kualami saat ini adalah mimpi, sehingga masih memiliki
kesempatan untuk bertemu Sunny!
Namun....
Ah, mungkin nasi sudah menjadi bubur. Aku memang sedang tidak bermimpi.
Semua karena Sunny....
Dan aku akui, memang telah jatuh hati kepadanya. Sunny adalah jelita yang mampu meluluhkan
jiwaku. Adalah kekerdilanku sendirilah selama ini yang membuat aku bagai pesakit, dan menjadi
pecundang cinta yang hanya dapat meratapi nasib buruk cintanya. Aku kalah sebelum berperang.
Aku terlalu pengecut. Padahal, cinta memerlukan perjuangan. Perjuangan yang selama ini aku
lalaikan, serta hanya pasif mengenangnya tanpa aplikasi dan wujud kasih yang nyata.
Ya, Tuhan!
Aku mesti belajar untuk bersikap satria. Sebelum kekerdilan melamur segalanya.
Mumpung masih ada waktu.
Aku hanya terdiam, dan memandang kosong tanpa ekspresi Toki yang berdiri di bingkai pintu
kamarnya. Kali ini Toki hanya bisa menatapku dengan iba tanpa mampu berkata apa-apa. Aku
masih terus berharap agar semua yang kualami saat ini adalah mimpi, sehingga masih memiliki
kesempatan untuk bertemu Sunny!
Namun....
Ah, mungkin nasi sudah menjadi bubur. Aku memang sedang tidak bermimpi.
Semua karena Sunny....
Dan aku akui, memang telah jatuh hati kepadanya. Sunny adalah jelita yang mampu meluluhkan
jiwaku. Adalah kekerdilanku sendirilah selama ini yang membuat aku bagai pesakit, dan menjadi
pecundang cinta yang hanya dapat meratapi nasib buruk cintanya. Aku kalah sebelum berperang.
Aku terlalu pengecut. Padahal, cinta memerlukan perjuangan. Perjuangan yang selama ini aku
lalaikan, serta hanya pasif mengenangnya tanpa aplikasi dan wujud kasih yang nyata.
Ya, Tuhan!
Aku mesti belajar untuk bersikap satria. Sebelum kekerdilan melamur segalanya.
Mumpung masih ada waktu.
"Hamdi WR"