4 Unsur Alam, 4 Anugerah Alam, 4 Kata untuk Alam "Tangisan Untuk Bumi Pertiwi".
Labels:
Kata-kata Bijak,
My Green,
Writing Contest
Sujud simpuh dalam rona kegelapan, tak tertata lagi wujud sang panorama. Diatas luka berbuah nestapa, dimana harus kucari letak pengabdian abadi jika segala melodi lantunkan nada suram di Negeriku Ibu Pertiwi.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang
Mas intanmu terkenang
. HUTAN.....!!!
. GUNUNG....!!!
. SAWAH....!!!
. LAUTAN....!!!
""Simpanan kekayaan""
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa...
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa...
Kulihat ibu pertiwi
"Kami datang berbakti"
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
"Kami datang berbakti"
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa..
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
16 Tahun menabung untuk membangun tempat layak tinggal, namun apa??? semua berakhir cukup 1 jam saja. Kepada siapa harus menjerit... menangis.. dan mengadu!!! Bukan takdir Tuhan, semua salah dari diri kita sendiri.
Luapan air laut yang tak mungkin bisa terbendung oleh segala jenis bendungan telah meratakan Bumi Pertiwi. Lihatlah kenyataan ini dengan mata hati yang juga terbuka, namun yang ada mata kaki yang lebih banyak dibuka tak lain untuk melarikan diri. Subahanallah...
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa..
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hymne dan pujian-pujian untuk-Mu yang Maha, selalu terlantun lembut diantara kejinya perbuatan manusia, Hutan ku Gundul,,, Gunung ku meletus,,, Sawah ku meradang,,, dan Lautan ku meluap dengan leluasa. Yaa Allah,, Yaa Tuhanku.. Apakah aku hanya dapat berkarya, menulis banyak buku tanpa harus ada tunjangan positif untukmu bumi.
Bumiku menjerit ketakutan, Tanah, Air, Api, dan Udara tak dapat kubedakan lagi atas perubahan iklim yang membuatku sakit dan harus menanggung tangis. Rumah Tante ku di Kalimantan berubah dengan jelmaan seramnya api dan harus menjadi debu tak berharga. 155.611,58 hektar pohon didalamnya habis sudah menjadi santapan si jago merah.
Betapa tak berharganya sisa reruntuhan dan debu yang ada, bibirku gemetar laksana letupan dari dalam api yang dengan nikmat melahap hutan Ibu Pertiwi.
Hutanku.. Tak selamanya engkau menyimpan banyak limpahan riski, tersadar dari dunia alam bawah sadar, bahwa engkau (hutan) juga menyimpan amarah dari segala perbuatan manusia.
Dalam Pemikiran dari seorang penulis kecil tak berdaya, bahwa manusia di ibaratkan bak sebuah gunung. Indah, sangat indah dilihat dikala embun membasahi tubuhnya, begitu juga dengan manusia, sangat indah ketika tersenyum sesudah mandi, hal itu dikarenakan adanya AIR. Namun dibalik itu semua, gunung dan manusia juga menyimpan sosok kekejamanya dikala hatinya mulai terusik dan merasa hanya dimanfaatkan keindahannya saja oleh para penikmatnya. Dari faktor usia juga berpengaruh, manusia jika sudah tua pasti akan rentan akan sakit, dosapun seakin banyak dan semakin dekat atas panggilan sang Kuasa, begitu juga gunung, semakin hari semakin tua, semakin mudah juga memuntahkan penyakit didalmnya yang berwujud larva. Di Jogja, merekahnya sang gunung telah dibuktikan oleh sosok Merapi. Subahanallah, Tuhan... anugerah-Mu sungguh luar biasa, petaka yang terwujud juga tak kalah luar biasa. Udara yang sejuk telah berpacu dan melingkup dalam ruang vulcanik. Udara... Udara.... Udara... Kami manusia sangat membutuhkan nuansa alami dikesejukkanmu.
Merindukan rintihan harmoni alam tak cukup dengan lantunan doa. Hancurkan saja alamku, pecahkan saja segala keindahannya, apalah arti hidup ini jika harus menanggung dosa berlimpah atas kelalaian kita tidak menghargai alam.
Tumbuhan telah kau sihir menjadi suatu yang memburamkan kaki lagit, Binatang-binatang tanpa dosa tak berdaya, harus menanggung maut atas segala kemunafikan kita terhadap alam.
Mendeskripsikan suatu kejadian, telaah lahir dan batin bahwa sesungguhnya segala yang bernyawa didunia ini tentu akan tiada. Sisi pemikiran logika nan ilmiah menyulutkan tanggung jawab, saling menyalahkan dan berpedoman terhadap argumen masing-masing. Keras kepala jika harus saya menilai.
Terlepas dari faktor gengsi, pedesaan tak bernilai lebih dimata manusia metropolitan, pemerintah, bahkan pengusaha besar. Cukup tersenyum lirih disaat menceritakan kronologi makanan orang kota, makanan pokok yang berupa nasi. Nasi dengan mula beras yang sebelumnya berwujud padi, dari mana asal padi jika tidak dari sawah dan dikelola oleh masyarakat pedesaan. Mereka (masyarakat pedesaan) butuh bantuan dari kita yang tinggal di daerah perkotaan, bukan berupa materi, namun berupa jasa secara tidak langsung untuk menjaga pelestarian lingkungan dari sampah-sampah di perkotaan yang berdampak longsor di daerah persawahan akibatnya aliran air yang sungai yang tidak stabil dan minimnya penyerapan air hujan ke tanah. Haruskah kita menunggu orang lain dalam bertindak? Rela tidak kekayaan alam warisan bumi pertiwi terjarah oleh sikap kita sendiri?
Pusat yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita untuk menjaga warisan Ibu Pertiwi kini tidak lagi menjadi tirik tumpu dalam pelestariannya. Tanah seakan kita tidak membutuhkannya, betapa jauhnya kesadaran mereka yang tidak menjaga lingkungan bahwa awal mula kita terwujud berasal dari tanah.
Entah mengapa setiap kali saya buka mata, hati ini terasa resah disaat menghirup udara pagi, entah dengan kendala apa dikala memejamkan mata, hati ini terasa gelisah atas perbuatan saya yang belum sempurna membenahi kebutuhan bumi pertiwi. Ingatkah waktu kejadian tsunami di Aceh? Subahanallah... Bencana yang membuat saya susah tidur ketika melihat korban dan pecahnya lingkungan saat itu. Laut sebagai harta dalam mengais kekayaan akhirnya mengungkap wujud amarahnya dihadapan kita semua. Retakan yang terjadi di pusat bencana memprotes ketidak nyamanan laut atas ulah manusia.
Luapan air laut yang tak mungkin bisa terbendung oleh segala jenis bendungan telah meratakan Bumi Pertiwi. Lihatlah kenyataan ini dengan mata hati yang juga terbuka, namun yang ada mata kaki yang lebih banyak dibuka tak lain untuk melarikan diri. Subahanallah...
Siapa yang menginginkan hal tersebut? Kehendak siapa? Jawab!!! Segala kemistikkan Bumi Pertiwi semakin hari semakin terungkap. Apa tindakan pertama kita menyikapi hal tersebut? Jawaab!!! :'(
Mengapa.. Mengapa hanya Masjid yang dapat berdiri kokoh ditengan terjangan Tsunami di Aceh? Aufariz rasa sudah banyak liputan dan sudah banyak yang mengungkap tentang hal itu, saya rasa hal tersebut adalah simbol tegoran dari Yang Maha Esa terhadap perbuatan-perbuatan dosa kita di Dunia. Astaqfirlah..
::AIR::
::API::
::TANAH::
::UDARA::
Adalah 4 Unsur alam yang sangat dibutuhkan manusia. Beragam pola penggunaan yang ada, kita sendiri yang memutuskannya, baik berdampak positif maupun akan dengan porsi negatif. Cukup... Cukup sudah menyakiti Bumi Pertiwi, berbuatlah saudara-saudariku, berbuatlah dengan ikhlas untuk Bumi Pertiwi. Bagunlah... Bagungkanlah rasa kecintaanmu terhadap Bumi Pertiwi, karena apapun yang kita bangun tentunya akan membangun diri kita sendiri. Lihatlah tepat di bola mata saya, "Tangisan Untuk Bumi Pertiwi" sungguh menginginkan Anda semua untuk memulai mencintai Bumi Pertiwi.
Yaa Allah.. Yaa Rabb... Semoga Artikel kecil ini bermanfaat bagi Bumi Pertiwi. Amiin..